Zonaikn.com, Samarinda -Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menyoroti dengan adanya ketimpangan akses pendidikan antara wilayah perkotaan dan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Meski program pendidikan gratis sudah berjalan, sarana dan prasarana di daerah 3T dinilai belum memadai.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Damayanti, menjelaskan bahwa fasilitas pendidikan di daerah perkotaan seperti Samarinda dan Balikpapan sudah relatif lengkap, bahkan seragam sekolah pun digratiskan. Namun kondisi tersebut belum dirasakan secara merata oleh masyarakat di daerah pelosok, yang kerap menghadapi kendala geografis dan minimnya infrastruktur dasar. Menurutnya, program gratis pendidikan harus dibarengi dengan pemetaan menyeluruh terhadap infrastruktur agar benar-benar berdampak.
“Makanya kemarin saya sampaikan bahwasannya gratis pol itu tidak hanya sekedar gratis dalam memberi fasilitas kesehatan maupun pendidikan. Tetapi harus diimbangi dengan sarana dan prasarana yang mumpuni,” ucap Damayanti.
Ia menambahkan, pendidikan yang digratiskan akan menjadi tidak efektif bila masyarakat di daerah 3T tetap kesulitan menjangkau sekolah karena akses yang buruk. Pemerintah harus hadir untuk memastikan bahwa masyarakat di seluruh wilayah memiliki kesempatan yang setara dalam mengakses pendidikan dasar.
“Sesuatu itu menjadi hal yang percuma, gratis, tetapi tidak dibarengi oleh sarana dan prasarana. Mungkin yang tadi disampaikan benar. Gratis, cek gratis. Tapi kalau tidak dibarengin dengan sarana prasarana bagaimana mau dapat yang gratisnya,” ungkapnya.
Damayanti menekankan pentingnya strategi pemetaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan secara menyeluruh, khususnya di wilayah 3T. Ia berharap tidak ada lagi ketimpangan layanan publik hanya karena letak geografis suatu daerah yang jauh dari pusat kota.
“Artinya kami, teman-teman di Komisi IV, saya pribadi juga mendorong adanya pemetaan. Pemetaan terhadap infrastruktur, baik itu infrastruktur pendidikan maupun kesehatan, jangan sampai yang 3T itu terabaikan karena memang posisinya yang amat jauh,” katanya.
Ia juga menyoroti perlunya perhatian khusus terhadap tenaga pendidik dan kesehatan di daerah 3T. Pemerintah diminta memberikan insentif yang layak agar para profesional ini bersedia bertugas di wilayah terpencil tanpa merasa dirugikan secara ekonomi maupun sosial.
“Pemerintah harus peka terhadap hal itu. Jangan diberi, harus ada pembeda antara tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berkenan di daerah 3T. Misalnya inisiatifnya, jangan disamakan,” tegas Damayanti.
Menurutnya, bila perlakuan terhadap tenaga profesional di kota dan di daerah 3T disamakan, maka akan sulit untuk menarik minat mereka mengabdi di wilayah terpencil. Penghargaan terhadap pengorbanan mereka harus diwujudkan dalam bentuk insentif dan fasilitas yang lebih memadai.
“Hargai mereka, hargai tenaga mereka, hargai pengorbanan mereka yang mungkin bisa jadi harus jauh dari keluarga, ya mungkin dengan cara memberikan insentif yang berbeda dengan teman-teman tenaga kesehatan ataupun tenaga pendidik yang posisinya di kota,” tutupnya.